Seperti biasa, rumah di
Jalan Taman Sari X Nomor 61 itu tertutup rapat. Bagaikan tidak
berpenghuni. Padahal, di dalamnya terdapat si pemilik rumah, Ignatius
Ryan Tumiwa.
Rabu sore itu (6/8) tampak lima warga
berusaha masuk ke rumah yang sudah reyot hendak ambruk tersebut.
Sesekali mereka mengetuk-ngetuk pagar seng rumah tersebut sambil
memanggil-manggil nama Ryan –panggilan pria kurus kering itu. Tapi,
berkali-kali hal tersebut dilakukan, tidak ada respons dari dalam rumah.
Apalagi jawaban.
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil
berhenti di depan rumah tersebut. Ada empat orang yang turun dari mobil
cokelat susu itu. Mereka adalah pengurus gereja tempat Ryan
bersembahyang yang bermaksud mengirimkan ransum makanan ke rumah itu.
Seperti yang dilakukan warga sebelumnya,
rombongan gereja tersebut juga berteriak-teriak memanggil-manggil nama
Ryan. Tapi, boro-boro dibukakan pintu, tidak ada jawaban dari dalam
rumah. ’’Ya udah deh pulang aja,’’ ujar salah seorang anggota rombongan
itu mengajak balik kanan kawannya.
Kondisi rumah bercat putih itu memang
sangat memprihatinkan. Sepintas mirip bangunan yang baru saja terkena
bencana gempa bumi atau banjir. Pagar sengnya sudah berkarat. Atapnya
nyaris ambrol. Halaman depan yang tidak begitu luas digenangi air dan
ditumbuhi semak-semak. Pokoknya, dari luar, rumah itu tampak kosong.
Meski demikian, rumah tersebut diyakini
berpenghuni. Sebab, sesekali –saat suasana sepi– si empunya keluar rumah
untuk sebuah keperluan. Sudah lama warga penasaran dengan kondisi Ryan,
si pemilik rumah. Sebab, dia mencuri perhatian lantaran ingin
mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak wajar, yakni suntik mati.
Dia lalu mengajukan gugatan uji materi
pasal 344 KUHP tentang eutanasia atau upaya mengakhiri hidup seseorang
dengan tenang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat menjelaskan latar
belakang dirinya ingin mengakhiri hidup secara tidak wajar tapi
’’legal’’ tersebut di gedung MK, air matanya berleleran.
Sejak saat itu pria 50 tahun tersebut
menjadi buruan para wartawan dan orang-orang yang peduli. Setiap hari
selalu ada saja tamu yang berkunjung ke tempat tinggal Ryan, meski
kebanyakan pulang dengan tangan hampa karena tidak bisa bertemu dengan
yang bersangkutan.
’’Ya, sejak berita gugatan ke MK itu,
rumah ini jadi ramai dikunjungi orang. Dulu mah sepi,’’ ungkap Liong
Ping Giu, tetangga depan rumah Ryan.
Dia menyatakan tidak habis pikir dengan
jalan pikiran tetangga dekatnya itu. Liong mengaku kaget atas berita
yang beredar akhir-akhir ini yang menyebutkan Ryan merasa sudah bosan
hidup dan hendak mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati.
’’Saya kaget pas lihat banyak wartawan ke
rumahnya. Ketika saya tanya ke wartawan, katanya dia minta disuntik mati
untuk mengakhiri hidupnya,’’ jelas teman sekelas Ryan saat di SMP PGRI
92 Jakarta itu.
Menurut Liong, selama ini dirinya tidak
melihat tanda-tanda yang kurang beres pada diri Ryan. Bahkan, ketika
SMP, Ryan termasuk murid cerdas. ’’Beberapa kali dia ranking di kelas,’’
ucapnya.
Memang, kata Liong, dalam pergaulan, Ryan
memilih-milih teman. Dia hanya berteman dengan anak-anak pintar. ’’Saya
yang tetangga depan rumahnya saja jarang diajak ngomong,’’ tuturnya.
Setelah lulus SMP, Liong mengaku tidak
pernah lagi berkomunikasi dengan Ryan. Bahkan sampai saat ini. Dia hanya
tahu anak bungsu empat bersaudara tersebut melanjutkan ke SMAN 2
Jakarta Barat.
Pria berusia 50 tahun itu menceritakan,
setelah lulus SMA, Ryan melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, dia
tidak tahu persis universitas tempat Ryan kuliah. ’’Saya hanya tahu saat
dia kuliah S-2 di Universitas Indonesia (UI),’’ jelasnya
Berbekal kecerdasan yang dimiliki, setelah
menyelesaikan kuliah S-2, Ryan bekerja. Dia diterima menjadi dosen di
almamaternya, mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan bidang
ekonomi.
’’Saya lupa fakultasnya. Yang saya ingat, dia mengajar ekonomi. Saat itu hidupnya serba berkecukupan,’’ ungkap Liong.
Namun, masa-masa keemasan Ryan pun
berakhir. Sekitar dua tahun lalu dia menjadi yatim piatu. Ayahnya
berpulang menghadap Tuhan. Setahun sebelumnya istri Ryan meninggal.
Maka, sejak itu dia hidup sebatang kara. Saudara-saudaranya sudah tidak
lagi menggubrisnya.
Menurut Fredy Mantovani, teman Ryan saat
SMA, kematian ayah kandungnya itu membuat Ryan terpukul. Dia menjadi
semakin pendiam. Setiap hari dia hanya pergi ke kampus, setelah itu
pulang dan mengunci diri di dalam rumah.
Selang setahun kematian ayahnya, Ryan
masih belum bisa melupakan sosok orang tuanya tersebut. Dia pun menjadi
depresi berat. Dia tidak terbiasa hidup sebatang kara.
”Semakin lama dia tidak kuat. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai dosen itu,” jelasnya.
Tapi, sejak pensiun dini dari kampus,
kehidupan Ryan semakin tidak menentu. Dia jarang sekali keluar rumah.
Kata Fredy, Ryan keluar rumah hanya kalau ke ATM dan minimarket. Dia
juga mulai tidak doyan makan nasi.
”Setiap hari hanya makan roti. Pagi, siang, dan malam delivery,” tutur Fredy yang sempat menemui temannya yang sedang stres itu.
Fredy mengaku kaget dengan perubahan sifat
Ryan akhir-akhir ini. Sebab, saat SMA Ryan merupakan pria yang normal.
Dia juga langganan juara. Bahkan, saat penjurusan, dia masuk kelompok
IPA.
”Sangat sedikit yang bisa masuk IPA saat
itu. Dia salah satunya. Mayoritas IPS,” terang Fredy yang mengaku dulu
sangat dekat dengan Ryan.
Teman Ryan yang kini tinggal di Tangerang
itu awalnya tidak tahu bahwa sahabatnya tersebut ingin mengakhiri hidup
dengan suntik mati. Dia tahu setelah mendapat telepon dari teman SMA-nya
yang lain.
”Teman saya itu bilang bahwa Ryan ingin
disuntik mati. Saya kaget bukan main, makanya langsung ke sini,’’
paparnya. ’’Saya ingin berbicara dengan dia. Saya yakin dia tidak gila.
Hanya frustrasi,” jelasnya.
Keyakinan Fredy itu cukup beralasan.
Sebab, tidak ada orang gila yang sampai berpikiran mengajukan gugatan
uji materi kepada MK untuk merevisi pasal 344 KUHP tentang eutanasia.
’’Mudah-mudahan dia mau mengubah pikirannya itu,’’ tandas dia.
jpnn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar